jump to navigation

Kadal, Miskin dan Sejahtera 21 November 2007

Posted by moenz in Cetusan.
Tags: , , ,
trackback

Anda tahu hadits Kadal? Inilah haditsnya : Kaadal faqru an yakuuna kufran.
Hadits yang sangat populer ini sering dikutip tatkala membicarakan kemiskinan, kefakiran dan kekufuran. Terjemah bebas hadits itu adalah: Kefakiran itu amat dekat dengan kekafiran.

Takhrij hadits dan maknanya
Hadits ini dipopulerkan oleh Al-Ghazaly di al-Ihyaa’. Sejauh yang bisa ditelusuri, hadits ini diriwayatkan oleh Abu Na’im Al-Ashfahany di al-Hilyah, al-Baihaqy di asy-Syu’ab, dan ibnu as-sakan di Musnadnya, dari al-Hasan r.a [1]. Di dalam jalur ini terdapat Yazid ar-Raqasyi yang dhaif[1,2]. Di riwayat ad-Daruquthny di al-Awsath, dari jalur Anas r.a yang marfu’, juga terdapat kelemahan di dalam sanadnya [1]. Hadits ini terdapat di Al-jami’u ash-Shaghir as-Suyuthi [3].
Demikian yang dinyatakan oleh Imam Al-‘Ajluni dalam Kasyful Khafa’[1]. Demikian pula komentar Imam Nawawi di Faydhul Qadiir Syarah al-jami’ ash-Shaghiir [4] dan komentar al-Hafizh al-Iraqy di kitabnya Takhrij Ahaadits al-Ihya’ [2]. Menurut al-Mubarakfury, hadits ini sangat lemah (dhaif jiddan) [5][6].
Terlepas dari status hadits ‘kadal’ yang dhaif, Imam Nawawi dan al-Ghazaly mengatakan bahwa yang dimaksud “faqir” di sini adalah faqir hati, yaitu kefakiran yang diiringi dengan hasad terhadap yang kaya, serta disertai oleh hilangnya ridha terhadap qadha-Nya. Sementara Sufyan ats-Tsauri menambahkan: “… dari hilangnya rasa malu untuk meminta pada manusia”. Dari yang demikianlah, maka Rasulullah memohon perlindungan dari kefaqiran dan kekufuran, dalam doa : Allahumma innii a’uudzu bika minal kufri wal faqri (ditakhrij an-Nasa’i dan dishahihkan Ibnu Hibban[1]).

Kemiskinan sebagai realita
Dalam tinjauan sosiologis, kemiskinan dan kefakiran adalah ‘penyakit sosial’ masyarakat, yang menjadi tanggungn jawab negara untuk mengatasinya. Walaupun data statistik tidak tersedia, namun menjadi pengetahuan umum bahwa tingkat kemiskinan dianggap berkorelasi terhadap tingkat kejahatan, juga pada tingkat pendidikan. Idea negara kesejahteraan umumnya membandingkan tingkat kesejahteraan negaranya pada persentase tingkat kemiskinan, serta rasio pendapatan lapisan teratas terhadap kalangan termiskinnya.

Secara umum, fitrah manusia tidak menyukai kesulitan dan himpitan hidup. Bahkan fithrah manusia menyukai anak, istri, dan harta, baik emas-perak, maupun tunggangan dan sawah ladang [7]. Oleh karena itu, kefakiran dan kemiskinan merupakan hal yang dihindari. Orang-orang bekerja keras dan membanting tulang untuk memenuhi kebutuhannya, selain karena kebutuhan, juga menjadi sarana aktualisasi diri, serta membawa status hidup di masyarakat. Kemiskinan, selain membawa kesedihan, juga mengurangi harga diri yang bersangkutan di mata lingkungan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika terdapat kalangan yang menaruh dendam kesumat terhadap kemiskinan. Sekali keluar dari kemiskinan, maka ia bersumpah tidak akan mau lagi kembali ke sana.

Kembali ke hadits Kadal yang dhaif tadi, apakah kemiskinan/kefakiran an sich selalu dekat kepada kekafiran, sehingga kita boleh menaruh dendam atasnya?

Di antara penghuni neraka, terdapat dua golongan besar: pertama, adalah golongan orang-orang yang diikuti, dan kedua adalah golongan para pengikut. Golongan pengikut umumnya adalah orang lemah, baik secara struktural maupun dari sisi harta benda. Golongan ini memandang golongan pertama, yaitu kaum kaya dan penguasa, sebagai tokoh-tokoh panutan yang layak diikuti dan bakal membawa keselamatan bagi golongan kedua. Maka, hadits kadal tadi relevan untuk golongan kedua: tatkala mereka, kaum lemah yang fakir ini, juga tersilapkan oleh kilau gemilangnya dunia yang dimiliki kaum pertama, sehingga mudah terseret ke dalam ajaran dan arahan kaum pertama, yang berujung pada kekafiran.

Di sisi lain, seandainya hadits Kadal tadi boleh dipakai sebagai justifikasi dendam terhadap kemiskinan, maka Allah telah memperingatkan kita tentang ‘kadal’ yang lain: surat al-Humazah dan surat at-Takaatsur. Bahwa kesejahteraan, sebagai lawan dari kemiskinan, juga punya potensi besar untuk menjerumuskan pada neraka dan kehancuran. Sejarah telah mengajarkan kepada kita, bahwa umumnya pengikut para nabi adalah dari kalangan miskin dan orang-orang lemah. Ejekan kaum Nuh a.s ataupun ancaman terhadap nabi Shalih a.s, didasari oleh banyaknya kalangan lemah yang mengikutinya, serta minimnya dukungan kaum sejahtera pada risalah kenabian. Di sisi lain, musuh utama para nabi kebanyakan kaum berpunya dan penguasa. ‘Wajar’, karena kemapanan dalam harta dan kuasa membuat orang lebih sulit untuk berubah, sebagaimana sulitnya reformasi di Malaysia karena telah mapannya kaum menengah di sana.

Ingatkah kita akan tangisan Umar r.a ? Ia tidak menangisi kemiskinan dan kesulitan hidup kaum muslimin, bahkan ia amat keras pada manusia agar berlaku zuhud terhadap dunia. Namun justru ia menangisi kedatangan harta ghanimah dan jizyah dari bumi Kinanah, karena menurutnya, itulah yang akan menghanyutkan umat ini dan merusaknya. Dan awal mula fitnah umat ini di zaman Utsman r.a., muncul tatkala umat terlena dengan harta dan banyaknya kemudahan dunia [8]. Bahkan Rasulullah menjanjikan fasilitas masuk surga lebih dulu untuk kaum fakir dibandingkan orang kaya [5].

Allah memperbolehkan kita menyukai istri dan anak-anak, harta, dunia, dan kenikmatan yang tersedia, namun ALlah pun memperingatkan kita, bahwa di balik itu semua, ada potensi kebaikan dan keburukannya. Tertahannya dunia dari kita bukanlah musibah utama, sebagaimana terbukanya pintu dunia bisa jadi awal dari pemenuhan janji-Nya buat kaum yang bertaqwa.

Dan di balik itu semua, sesungguhnya kesejahteraan di akhirat lebih baik dan lebih utama. Semoga Allah menyelamatkan kita dari segala fitnah dunia.
Wallahu a’lam.

Maraji’:
[1] Imam al-‘Ajluni, Kasyful Khifa’, hadits no 1919, huruf Kaaf
[2] Al-Hafizh al-Iraqy, Takhrij ahaadits al-Ihya (jilid 3, bab Dzammul Hasad, hadits no 6, bab Dzmmul bakhl wa hubbul maal, hadits no 2 dan jilid 4: kitab ash-shabr hadits no 2)
[3] Jalaluddin as-Suyuthi, Jami’ush Shaghir (jilid 4/hadits no 6199, huruf Kaaf)
[4] Imam an-Nawawi, Faydhul Qadiir Syarah al-jami’ ash-Shaghiir (juz 4/542)
[5] Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadziy syarh Jami’ At-Tirmidzi, Kitab Zuhud, bab Maa jaa’a anna fuqaraa’a al-muhaajirin yadkhuluuna al-jannata qabla aghniyaa’ihim (nomer 2395 dan 3742)
[6] Bagian takhrij hadits ini telah di-murajaahkan ke Dr. Daud Rasyid, dan menurut beliau, “memang hadits ini sangat lemah, tak layak dijadikan sandaran dalam beragama” . Sumber: komunikasi pribadi dengan Dr. Daud Rasyid, November 2007.
[7] Ali Imran : 13
[8] Haekal, Utsman bin Affan r.a, Mizan Bandung

[original post: 29 Sept 2007, 15:37 ]

Comments»

1. iugee - 30 September 2007

Komentar Pertama hehe..
Keep writing pak.. semoga bisa bermanfaat buat orang yang membaca nya..

Yugi

2. didin km - 22 November 2007

“Oleh karena itu, tidak mengherankan jika terdapat kalangan yang menaruh dendam kesumat terhadap kemiskinan. Sekali keluar dari kemiskinan, maka ia bersumpah tidak akan mau lagi kembali ke sana…”
yang seperti ini juga ‘membahayakan’ malah jadi memiskinkan kekayaan batin, jadinya bertingkah ‘kampungan’ atau malah kalap dan melahap apa saja, menyedihkan… naudzubillah..

3. Hendriawan Prakoso - 24 January 2008

Halo Pak Mun…

Kalo menurut saya, kaya harta itu perlu. Orang yang kaya bisa membantu lingkungan sekitarnya. Bisa memberikan beasiswa bagi yang membutuhkan. Bisa bikin perusahaan yang mengurangi pengangguran.

Sayang sekali, sebagian besar orang kaya yang saya tahu ternyata tidak intelek, dan snob. Makin kaya makin pelit pula. Inilah kaya yang harusnya dihindari kalo menurut saya.

4. Armand - 13 August 2008

Salam kenal. Semoga bermanfaat.

5. eka - 16 July 2009

Syaikh moenz, tulisannya segeeeer, terus nulis ya.


Leave a reply to Armand Cancel reply